Liputan6.com, Jakarta Tim Advokasi Korban Tragedi 7 Desember 2020 melaporkan kasus penembakan terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek oleh aparat kepolisian ke Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan Mahkamah Internasional atau International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda, tidak menggantikan peran peradilan nasional.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik menuturkan, Mahkamah Internasional dibangun sebagai badan komplementer untuk melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota Statuta Roma.
“Mahkamah Internasional bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara. Dengan begitu, Mahkamah Internasional atau ICC baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi unable dan unwilling,” ujar Damanik yang dikutip dari Antara, Selasa (26/1/2021).
Statuta Roma menjelaskan kondisi unable atau “dianggap tidak mampu” adalah saat terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, baik secara menyeluruh atau sebagian, yang berakibat tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum tidak dapat dihadirkan.
Sementara unwilling atau kondisi “tidak bersungguh-sungguh” adalah saat negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan.
Untuk itu, suatu kasus pelanggaran HAM berat harus diproses pengadilan nasional terlebih dahulu karena Mahkamah Internasional hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman jika sistem peradilan nasional lumpuh atau tidak dapat dipercaya sama sekali.