Jakarta – Chief Economist Samudera Indonesia Research and Initiatives (SIRI) Denny Irawan mengatakan, proses pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Nusantara menghadapi tiga tantangan yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Pertama-tama, akses jalan darat IKN terutama melibatkan akses jalan untuk kebutuhan material dalam proses konstruksi dan akses untuk kebutuhan pendukung seperti air bersih.
“Mengingat morfologi tanah di kawasan itu bergelombang, membuat jalur di IKN bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi struktur tanah yang tidak mendukung resapan air membuat air bersih hanya tersedia dari bendungan,” kata Danny, Senin (4 April 2022) dalam laporan Samudera Indonesia Brief.
Untuk mendapatkan air bersih, pemerintah mengatasi masalah tersebut dengan membangun bendungan Sepaku Semoi. Ditargetkan selesai akhir 2023, bendungan tersebut diyakini mampu memenuhi kebutuhan air bersih IKN hingga 2030. Bendungan ini memiliki kapasitas suplai air 2.000 liter per detik (ditambah air dari Sungai Sepaku).
Selain itu, pemerintah juga berencana membangun bendungan Batu Lepek, Selemayu, Safiak, Beruas dan mendukung bendungan Sepaku Semoi dengan suplai air dari Sungai Mahakam untuk memenuhi kebutuhan air bersih IKN hingga tahun 2045.
“Untuk akses jalan, opsi akses yang paling dekat dengan pintu masuk material bangunan IKN adalah Pelabuhan ITCI Hutani Manunggal (IHM) dan Pelabuhan ITCI Kartika Utama (IKU). Jarak keduanya sekitar 8,2 km dan 25 km dari dari lokasi tahap pertama IKN,” Katanya.
Namun, Denny mengatakan kondisi jalan menuju kedua pelabuhan tersebut belum siap dilalui truk pengangkut material. Dengan kondisi tersebut, pemerintah bertujuan untuk memulihkan kondisi jalan, khususnya akses ke pelabuhan IHM.
“Hingga akhir tahun 2022, pembangunan jalan di Lingkar Kawasan Inti Pemerintah Pusat (KIPP) IKN akan membutuhkan investasi sekitar Rp 883 miliar,” jelasnya.
Baca Juga : Pembangunan IKN Tahap Pertama: Perkotaan, Infrastruktur dan Ekonomi
Selain itu, Denny menjelaskan bahwa tantangan kedua terkait aspek pelabuhan/bandara/pergudangan IKN tidak terlalu banyak pekerjaan rumah.
“Setidaknya ada lima alternatif kebutuhan untuk mendukung pembangunan, yakni Pelabuhan IHM, Pelabuhan IKU, dermaga bekas pembangunan Jembatan Pulau Balang, Dermaga Pantai Lango dan Pelabuhan Buluminung,” jelasnya.
Menurut Denny, jika IKN sudah mulai diduduki penyelenggara negara, impor barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal bisa melalui Terminal Peti Kemas Kariangau (kapasitas 300.000 TEUs/tahun), TPK Palaran (dengan kapasitas 130.000 TEUs/tahun) atau Pelabuhan Semayang.
“Terkait tantangan terakhir, yaitu menghubungkan jalur ke daerah lain, pemerintah juga perlu merencanakan pengembangan kawasan industri khususnya manufaktur di sekitar IKN,” tambahnya.
Perencanaan semacam ini perlu berdasarkan prinsip ship follows the trade, dapat dipahami bahwa logistik jalur darat, laut, dan udara hanya dapat berkelanjutan jika skala ekonomi perdagangan antardaerah bermanfaat bagi bisnis.
“Sayangnya, sebagian besar wilayah di sekitar IKN masih merupakan kawasan industri pertambangan yang bernilai tambah rendah. Situasi seperti itu akan menciptakan ketidakseimbangan kargo ketika IKN mulai ditempati, sehingga logistik IKN akan tetap mengandalkan pelabuhan Balikpapan dan Palaran yang jaraknya sangat dekat, dan biaya logistiknya relatif lebih jauh dan lebih mahal,” pungkasnya.