Berlin –
Ratusan juta orang di seluruh dunia mengharapkan vaksinasi secepatnya melawan virus Corona. Namun dalam waktu bersamaan, banyak orang ragu dan takut. Pasalnya, di satu sisi mereka ingin melindungi dari dari infeksi COVID-19, namun di sisi lainnya takut pada efek samping vaksin baru itu.
Banyak yang menyangsikan keamanan vaksin yang dikembangkan sangat cepat itu, dan mempertanyakan apakah efek sampingnya sudah benar-benar diteliti dengan memadai.
Pertanyaannya cukup panjang: reaksi vaksinasi mana yang normal? Apa efek samping yang mungkin muncul? Apakah saya harus divaksinasi?
Reaksi vaksinasi normal
Apapun jenis vaksin yang diberikan, reaksi tertentu tubuh setelah imunisasi adalah hal normal. Reaksi normal biasanya tidak memicu gejala berat. Demam ringan, sakit kepala dan nyeri anggota tubuh, bengkak di lokasi suntikan atau gatal-gatal, dalam waktu tiga hari setelah divaksinasi bukanlah hal aneh.
Gejala ini biasanya hilang setelah beberapa hari. Reaksi tubuh merupakan petunjuk, bahwa vaksin ampuh, dengan memicu sistem kekebalan tubuh dan tubuh mengembangkan antibodi terhadap “infeksi tipuan” yang dipicu vaksin.
Reaksi khas setelah vaksinasi semacam itu, juga sudah dilaporkan muncul dari vaksin yang sudah digunakan, yakni buatan BioNTech-Pfizer, Moderna, AstraZeneca dan vaksin buatan Rusia, Sputnik V.
Jarang timbul efek samping dengan gejala serius
Di samping reaksi khas vaksinasi normal, tentu saja ada kasus efek samping dengan gejala yang amat berat pada sebagian sangat kecil individu. Misalnya syok alergi, yang sudah diberitakan dengan gencar. Tapi perlu diingat, ini adalah kasus individual.
Tiga vaksin Corona yang sejauh ini sudah mendapat izin, menurut jawatan obat Eropa-EMA, jawatan obat dan makanan AS – FDA serta organisasi kesehatan dunia-WHO, secara keseluruhan aman. Jika tidak, lembaga pengawasan obat dan makanan ini tidak akan mengeluarkan izin penggunaan vaksinnya.
Vaksin dari BioNTech dan Moderna dalam pengembangannya menggunakan metode terbaru, yang disebut vaksin mRNA. Secara mendasar, vaksin ini berbeda dengan vaksin konvensional. Dalam artian, vaksin tidak mengandung virus mati atau virus yang dilemahkan. Melainkan hanya rancang bangun untuk satu bagian pembentuk penyebab COVID-19.
Sementara vaksin AstraZeneca pengembangannya juga menggunakan teknologi baru, yang disebut vektor virus. Vaksin vektor ini memanfaatkan adenovirus, misalnya virus flu yang hanya menginfeksi simpanse, sebagai alat transportasi, untuk menyusup ke protein permukaan SARS-CoV-2 yang disebut protein duri, agar memicu reaksi kekebalan tubuh.
Siap mengabaikan risiko vaksin?
Hal ini menjadi tanggung jawab tiap individu. Setiap orang harus menimbang sendiri, apakah baginya keuntungan lebih besar dari risikonya? Apakah bagi saya lebih penting, melindungi diri saya sendiri dan orang lain lewat vaksinasi? Dan dengan begitu kembali menjalani hidup normal. Atau, bagi saya risiko dari vaksin teknologi terbaru ini terlalu besar?
Juga ada pertimbangan lain, semua risiko dan efek samping yang sejauh ini tercatat, adalah data rekaman momen per momen dari beberapa bulan belakangan. Ini harus dicatat, agar kita tidak terlalu euforia menanggapi proses cepat pengembangan vaksin. Seperti pengalaman pada vaksin lain sebelumnya, studi jangka panjang lah yang akan memberikan kejelasan. Inilah yang disebut fase 4, dengan monitoring vaksinasi global setelah izin dikeluarkan.
Sejauh ini belum ada informasi mengenai kemungkinan efek samping yang langka, misalnya pada orang komorbid atau pengidap alergi. Efek samping semacam itu hanya bisa diamati, jika sudah dilakukan vaksinasi pada sangat banyak orang dan dimonitor jangka panjang.
“Masih ada risiko yang tersisa”, kata Christian Bogdan, direktur Institut Mikrobiologis Klinis, Imunologi dan Higiene di RS Universitas Erlangen. “Setinggi apa risikonya, harus diuji pada bulan-bulan mendatang”, paparnya.
Siapa yang harus mendapat prioritas imunisasi
Bogdan, yang juga anggota komisi tetap vaksinasi di Robert Koch-Institut (RKI) menyebutkan, pertimbangan antara kegunaan dan risiko tetap menjadi basis vaksinasi. Kepada dpa ia menjelaskan contoh hitungan matematisnya: Seorang manusia lanjut usia, jika terinfeksi virus corona menghadapi risiko kematian 20%, sementara jika divaksinasi, risiko efek samping berat hanya satu banding 50.000, maka secara logika, mereka disarankan untuk melakukan imunisasi.
Sebaliknya, anak-anak tidak disarankan mendapat vaksinasi, karena risiko mereka meninggal akibat COVID-19 nyaris nol, dan mereka masih punya masa depan panjang.
Juga perempuan yang sedang hamil atau menyusui, dengan menyitir data terbaru, Bogdan menyarankan harus sangat berhati-hati dan jangan melakukan vaksinasi. Walau begitu, jawatan penanggulangan penyakit di AS-CDC menyebutkan, perempuan hamil atau menyusui tidak tertutup kemungkinan mendapat vaksin mRNA, setelah mendapat pemeriksaan dan konsultasi dengan dokternya.
Alexander Freund (as/pkp)
(nvc/nvc)