Jakarta –
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengumumkan “pembubaran” Front Pembela Islam (FPI). Ia didampingi begitu banyak pejabat negara yang terkait dengan urusan pertahanan dan keamanan negara. Melihat begitu banyaknya pejabat negara yang terlibat, pemerintah seakan menyampaikan pesan bahwa FPI adalah sesuatu yang besar dan penting.
Isi pengumuman yang disampaikan sebenarnya sederhana, yaitu FPI sudah tidak boleh lagi melakukan kegiatan apapun. Alasan formalnya, organisasi ini sudah tidak punya Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sejak Juni 2019. Karena tidak terdaftar sebagai organisasi massa, FPI tidak ada sebagai organisasi formal yang dikenal pemerintah. Bahasa kasarnya, FPI hanya kelompok liar saja.
Secara resmi sebenarnya pemerintah tidak membubarkan FPI. Secara administratif, FPI membubarkan diri dengan tidak mengurus administrasi perpanjangan SKT. Jadi, pemerintah melalui pengumuman itu hanya menegaskan atau mengumumkan situasi administratif terkait FPI dan menjelaskan konsekuensinya.
Konsekuensinya, organisasi yang tidak terdaftar tidak punya tempat berdiri di mata hukum, atau tidak punya legal standing. Ia tidak bisa punya kegiatan, tidak pula bisa mengajukan gugatan apapun kepada pemerintah.
Dengan pengumuman itu pemerintah sebenarnya sedang mengungkap sebuah fakta besar, yaitu FPI selama satu-setengah tahun terakhir hadir secara de facto, tapi sebenarnya secara de jure organisasi itu sudah tidak ada lagi. Apa maknanya? Maknanya, pemerintah selama ini membiarkan sebuah organisasi yang tidak terdaftar melakukan berbagai kegiatan, yang sebagian di antaranya berisi kegiatan yang meresahkan masyarakat.
Secara formal dan substansial FPI melakukan kesalahan. Tapi pemerintah lebih salah lagi, karena membiarkan organisasi itu berkegiatan secara ilegal selama satu-setengah tahun. Yang seharusnya terjadi minggu lalu adalah permintaan maaf dari pemerintah atas kelalaian selama ini.
Sebenarnya itulah persoalan utama terkait FPI ini. Pemerintah terlalu sering membiarkan. Pemerintah terlalu sering kewalahan. Tengoklah persoalan baliho tempo hari. Sudah jelas bahwa pemasangan baliho itu ada aturannya. Baliho apapun ketika tidak sesuai aturan harus dicopot. Yang memasang baliho liar harus ditindak agar tidak mengulangi perbuatannya. Kenyataannya, ada begitu banyak baliho liar yang dipasang berbagai pihak tanpa penindakan.
Baliho FPI hanya bagian dari baliho yang tidak ditindak itu. Penindakan kemudian dilakukan atas perintah Pangdam. Secara hukum itu penindakan yang tidak ada jalurnya. Langkah itu diambil sebagai langkah darurat. Itu jadi semacam amputasi darurat karena penyakit yang sudah menahun dan parah akibat pembiaran berkepanjangan.
Kenapa itu bisa terjadi? Konon ceritanya, kalau ada baliho yang diturunkan oleh Satpol PP, anggota FPI berani memasangnya kembali. Bahkan mereka berani mengancam keselamatan anggota Satpol PP.
Itu bukan lagi soal pembiaran. Itu adalah soal aparat pemerintah takut dengan sekelompok orang, yang seperti disebutkan oleh Menko Polhukam tadi, tidak punya legal standing. Sekali lagi, aparat penegak hukum pemerintah takut pada segerombolan orang yang tidak punya legal standing. Ini sungguh konyol.
Demikian pula berbagai urusan lain terkait FPI. Sering terjadi, suatu kegiatan dihentikan oleh aparat karena FPI keberatan. Alasannya sangat pragmatis, yaitu tidak ingin ada keributan. Artinya, aparat takut ada sekelompok orang akan membuat keributan. Padahal tugas mereka memastikan orang-orang itu tidak melakukan tindakan melawan hukum. Aparat sering takut pada FPI, lalu mengorbankan kepentingan khalayak.
Lalu, apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah keributan-keributan yang selama ini biasa terjadi akan sirna? Pemerintah hanya menegaskan bahwa FPI tidak boleh lagi membuat kegiatan. Substansi FPI itu, yaitu orang-orang yang merasa berhak melakukan apapun yang menurut mereka benar, termasuk melawan hukum dan pemerintah, masih ada. Ibarat gerombolan semut, yang dihilangkan cuma sarangnya, semutnya masih banyak. Mereka bisa berkumpul kembali untuk membuat sarang baru.
Rizieq Shihab sudah sejak lama dengan arogan menyatakan hal itu. Hari ini FPI dibubarkan, besok dibuat lagi organisasi baru yang isinya sama. Itulah yang telah terjadi. Munarman segera mendeklarasikan FPI baru itu.
Tapi kan organisasi itu tidak terdaftar? Tidak penting. Kenyataannya, selama satu-setengah tahun terakhir mereka bisa membuat berbagai kegiatan tanpa legal standing. Bagi mereka, legal standing itu tidak diperlukan. Fungsi mereka memang bukan dalam rangka mematuhi hukum, tapi melawannya. Mereka hanya memakai hukum kalau hendak memanfaatkannya saja.
Soalnya sekarang bukan pada FPI, tapi pada aparat penegak hukum. Kalau setelah ini sikap aparat tetap sama, maka persoalan akan tumbuh kembali. Pengumuman kemarin itu hanya akan jadi pertunjukan politik tanpa makna hukum maupun substansi.
Yang harus dilakukan adalah menindak tegas setiap kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tadinya bernaung di bawah FPI. Pemerintah harus konsisten dengan alasan “tidak ada legal standing” tadi. Jangan hanya panas sebentar, lalu FPI kembali berbisnis seperti biasa.
Konsekuensi konsistensi ini sangat besar. Pemerintah harus benar-benar menjaga dan menegakkan hukum terhadap siapa pun. Penting untuk dicatat bahwa organisasi paramiliter bukan hanya FPI. Ada banyak organisasi sejenis yang juga sering melakukan tindakan melawan hukum, meresahkan masyarakat, tapi tidak ditindak. Kunci masalahnya bukan pada FPI, tapi pada aparat keamanan.
Aparat tidak bertindak bukan tanpa alasan. FPI selama ini ada karena ada kelompok-kelompok politik yang memanfaatkannya. Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI karena didukung oleh FPI. Prabowo Subianto, yang sekarang jadi Menteri Pertahanan, juga memanfaatkan FPI waktu bertarung dalam pemilihan presiden. FPI menjadi besar karena ada orang-orang besar yang memanfaatkannya.
Pertanyaannya, adakah jaminan tidak akan ada orang besar yang memanfaatkan mereka lagi nanti? Sepertinya tetap akan ada.
Akhirnya pengumuman kemarin itu hanya akan jadi acara politik. Sekelompok kekuatan politik mencoba menghambat gerakan politik kelompok lawan, dengan memberangus alat politiknya. Itu bukan tindakan hukum.
(mmu/mmu)