Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir sementara transaksi dan aktivitas rekening Front Pembela Islam (FPI). Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani menilai pemblokiran rekening FPI jangan sekadar menggunakan payung hukum UU.
“Meminta agar PPATK jangan sekadar menggunakan payung UU, dalam hal ini UU Pemberantasan TPPU dan UU Pemberantasan Terorisme, dalam kasus rekening FPI. Memang UU tersebut memberikan kewenangan untuk melakukan pemblokiran terhadap rekening, termasuk oleh penegak hukum,” kata Arsul kepada wartawan, Rabu (6/1/2021).
Arsul menilai pemblokiran rekening itu harus disertai bukti alasan yang cukup perihal apakah rekening itu terafiliasi dengan kegiatan TPPU atau terorisme.
“Penggunaan kewenangan dalam UU tersebut harus disertai dengan bukti permulaan yang cukup bahwa pemilik rekening tersebut terkait atau terafiliasi dengan kelompok atau kegiatan pendanaan yang mengarah kepada tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan terorisme,” ujarnya.
Menurut elite PPP ini, pemblokiran rekening merupakan upaya paksa. Tanpa dilandasi bukti yang cukup, upaya paksa itu bisa dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang.
“Memblokir rekening itu termasuk salah satu bentuk upaya paksa. Oleh karena itu otoritas atau penegak hukum harus melakukannya berdasarkan bukti-bukti permulaan yang cukup. Tanpa bukti permulaan yang cukup, maka tindakan seperti itu merupakan tindakan kesewenang-wenangan,” ucap Arsul.
“Di Komisi III soal pemblokiran ini akan kami dalami untuk melihat apakah pemblokiran tersebut tindakan yang sewenang-wenang, berlebihan atau tidak,” imbuhnya.
Berapa kisaran jumlah rekening FPI yang diblokir? Simak berita selengkapnya.
Tonton video ‘Kuasa Hukum FPI Buka-bukaan soal Pembekuan Rekening oleh PPATK’: